Translate

Selasa, 19 November 2013

PENGERTIAN DRAMA


Drama (Yunani Kuno: δρᾶμα) adalah satu bentuk karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh aktor. Kosakata ini berasal dari Bahasa Yunani yang berarti "aksi", "perbuatan".
Drama bisa diwujudkan dengan berbagai media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik dan tarian, sebagaimana sebuah opera (lihat melodrama).
Unsur instrinsik dan ekstrinsik drama :   
Karya sastra drama memiliki unsur instrinsik dan ekstrinsik, yaitu antara lain sebagai berikut:
•    Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra namun secara tidak langsung mempengaruhi bangun atau sistem dalam karya tersebut, misalnya ekonomi, sosial, politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut oleh masyarakat.
•    Unsur intriksik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Unsur ini dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya, tetapi sukar dipisah-pisahkan. unsur intrinsik terdiri atas: alur (plot), perwatakan, tema, tokoh, latar, dialog, amanat, gaya bahasa, dan petunjuk teknis.
    Alur dan plot
Dalam kaitannya dengan sebuah teks cerita, alur berhubungan dengan berbagai hal seperti peristiwa, konflik yang terjadi, akhirnya mencapai klimaks, dan bagaimana kisah itu diselesaikan. Alur berkaitan dengan bagaimana peristiwa, tokoh, dan segala sesuatu itu digerakkan, dikisahkan sehingga menjadi sebuah rangkaian cerita yang padu dan menarik. Selain itu, alur juga mengatur berbagai peristiwa dan tokoh tampil dalam urutan yang tepat, menarik, dengan kelogisan dan kelancaran cerita yang tetap terjaga.
Alur dan plot Menurut Zaidan (2000: 26) alur adalah unsur struktur yang berwujud jalinan peristiwa di dalam karya sastra yang memperlihatkan kepaduan (koherensi) tertentu yang diwujudkan antara lain oleh hubungan sebab-akibat, tokoh, tema atau ketiganya. Ada beberapa hal penting yang perlu dideskripsikan dalam pengertian di atas. Pertama; jalinan peristiwa, kedua; unsur kepaduan; ketiga, diwujudkan hubungan sebab-akibat, tokoh dan tema.
Jalinan peristiwa dalam sebuah karya sastra dapat diwujudkan dalam bentuk tahapan-tahapan dalam pengembangan cerita atau kisah dalam sebuah karya sastra. Jalinan kisah atau cerita ini dapat diurutkan secara kronologis dimana kejadiannya digambarkan dari awal, tengah dan akhir. Dapat pula digambarkan dengan menggunakan teknik penggambaran kilas balik sehingga urutan cerita atau kisah dapat dimulai di tengah, akhir kemudian awal.
Pengembangan cerita atau kisah tersebut baik dilakukan secara kronologis maupun kilas balik harus memperhatikan unsur kepaduan dan hubungan sebab-akibat dalam sebuah karya sastra. Hubungan sebab-akibat ini menjadi penting karena hubungan peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain dapat membentuk keutuhan cerita atau kisah. Koherensi antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain sangat menentukan keutuhan sebuah kisah atau cerita.
Jalinan peristiwa maupun pengembangan cerita dilakukan oleh tokoh-tokoh tertentu. Tanpa adanya tokoh, kisah tidak dapat diwujudkan. Seorang tokoh dalam mengikuti jalinan peristiwa dapat saja melakukan sebuah kejadian atau peristiwa yang dapat menyebabkan lahirnya satu tindakan atau aksi dari pihak lain. Aksi balas membalas antara kekuatan antagonis dan kekuatan protagonis dapat membangun sebuah kisah yang utuh dalam bentuk urutan sebab-akibat. Dari perlakuan dan perjalanan tokoh dan jalinan peristiwa dapat terbentuk sebuah tema. Baik tema itu berupa perjuangan, percintaan maupun pengorbanan dan sebagainya.
Struktur alur oleh Sayuti (1997: 28) dibagi atas tiga tahap yaitu: awal, tengah, dan akhir. Dijelaskan bahwa bagian awal alur membawa cerita dari eksposisi kepernyataan konflik yang permulaan bagian tengah dimulai dari konflik melalui komplikasi hingga mencapai klimaks dan bagian akhir dari klimaks kepemecahan (denouement). Jadi, apabila digambarkan bagian-bagian plot akan seperti berikut ini.

        

             
   

Menurut Sudjiman (1986: 4) alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Pertautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab-akibat). Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama yang menggerakan jalinan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian.
Plot merupakan bagian penting dalam sebuah kisah atau cerita. Kemampuan seorang penulis merangkai peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain menjadi cerita menjadi bermakna dan menarik. Seorang penulis tentu akan memikirkan bagaimana memulai alur, bagaimana perkembangannya, bagaimana unsur kelogisannya dan bagaimana pertimbangan estetikanya. Jalinan peristiwa ini menjadi daya tarik bagi pembaca. Seorang pembaca yang baik tentu akan mengajukan beberapa pertanyaan, bagaimana hubungan alur pertama dengan alur kedua.
Penentuan alur, menjadi penting untuk memperoleh kenikmatan estetika tulisannya. Penulis tentu akan memikirkan, kalau cerita dimulai dengan alur maju maka bagaimana kelanjutan dan akhirnya. Kalau dimulai dengan alur mundur, maka bagaimana perkembangan dan mengakhirinya. Pertimbangan-pertimbangan seperti ini dilakukan penulis untuk mempertimbangkan kelogisan dan hubungan sebab akibat sebuat kisah.
Menurut Sumardjo (1987:139) plot atau alur cerita adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan oleh hukum sebab-akibat. Artinya, peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya , hingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan oleh peristiwa pertama.
Menurut Aminuddin (1991:86-87) alur merupakan kegiatan yang sangat penting, sebab dalam setiap tahapan alur atau plot sebenarnya sudah terkandung semua unsur yang membentuk karya fiksi. Tahapan alur dibentuk oleh satuan-satuan peristiwa. Setiap peristiwa selalu diemban oleh pelaku-pelaku dengan perwatakan tertentu, selalu memiliki setting tertentu dan selalu menampilkan suasana tertentu pula. Sebab itulah lewat pemahaman plot, pembaca sekaligus dapat pula memahami penokohan, perwatakan maupun setting.
Menurut Santoso (1995: 99) alur adalah rangkaian peristiwa atau jalan cerita yang sambung menyambung berdasarkan hubungan sebab-akibat yang secara erat bertautan mendukung struktur cerita rekaan. Sebuah alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi juga menjelaskan mengapa sesuatu itu terjadi. Dalam pengertian di atas, alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak –tanduk yang berusaha memecahkan konflik.

    Perwatakan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 1270) perwatakan berarti sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti. Perwatakan berhubungan dengan jiwa manusia. Perwatakan ini sengaja diciptakan pengarang. Seorang pengarang sengaja menjadikan seorang individu jahat, baik dan menjadi pengikut saja. Penciptaan watak atau karakter tokoh ini untuk merangsang emosi pembaca mengikuti alur kisah yang disampaiakan dalam  drama. Misalnya seorang tokoh pembohong. Sebenarnya, tokoh pembohong hanyalah melakoni kisah yang sedang ia perankan. Persoalan apakah lakuan itu adalah realitas dalam kehidupan atau tidak, seorang penulis sengaja merancang perkembangan karakter seorang tokoh sehingga emosi pembaca semankin bangkit. Tokoh pembohong ini biasanya tidak disukaioleh pembaca. Pada akhir cerita, biasanya tokoh pembohong ini lenyap.
Semi (1988: 36) mengemukakan bahwa masalah penokohan dan perwatakan ini merupakan salah satu hal yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting bahkan menentukan karena tidak akan mungkin suatu karya fiksi tercipta tanpa adanya tokoh yang diceritakan, tanpa adanya tokoh yang bergerak, yang akhirnya membentuk alur cerita. Sumardjo (dalam Wahid, 2004: 76) menyebut perwatakan dan penokohan sebagai pelukisan tokoh/pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap, dan tingkah laku dalam cerita.
Menurut Zulfahnur (1997:28) dalam cerita fiksi, perwatakan erat hubungannya dengan alur, sebab sebuah alur yang meyakinkan terletak pada gambaran watak-watak yang mengambil bagian di dalamnya, di samping perwatakan dicipta sesuai dengan alur tersebut. Peristiwa-peristiwa cerita yang didukung oleh pelukisan watak-watak tokoh dalam suatu rangkaian alur itu menceritakan manusia dengan berbagai persoalan, tantangan dan lain-lain.
Perwatakan erat kaitannya dengan perkembangan alur cerita. Seorang pembunuh, misalnya, seorang pembaca pasti sudah dapat mebayangkan beberapa hal. Misalnya, siapa pembunuhnya, mengapa dibunuh dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan itu akan mempengaruhi perkembangan alur.
Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa menjadi satu episode atau babakan. Mencari dan menelusuri siapa pembunuh, apa motif pembunuhannya, apa penyebabnya dapat melahirkan rangkaian cerita yang panjang. Demikianlah pentingnya perwatakan tokoh dihubungkan dengan perkembangan alur.


    Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami peristiwa atau lakuan dalam cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam cerita fiksi dapat berkembang perwatakannya baik segi fisik maupun mental (Sudjiman, 1988: 41).
Ada beberapa hal yang penting diperhatikan berdasarkan definisi di atas. Pertama, individu rekaan; kedua mengalami peristiwa atau lakuan dalam cerita. Individu rekaan merupakan pribadi yang dipilih oleh penulis untuk mewujudkan keinginan dan cita-cita yang hendak disampaikan dalam kisah atau cerita tertentu. Cita-cita atau keinginan tokoh tersebut erat hubungannya dengan pandangan hidup tokoh, termasuk tema yang hendak disampaiak dalan kisah atau cerita tersebut.
Individu rekaan berarti, tokoh atau individu itu bukan sesuatu yang benar-benar ada. Individu itu sengaja dipilih oleh penulis untuk mewakili karakter yang dikehendaki oleh penulis atau pengarang. Meskipun dalam kehidupan nyata ditemua juga nama atau karakter saya sama dengan individu atau tokoh dalam cerita, maka hal itu bukan sebuah kebenaran tetapi hanya merupakan sebuah kebetulan. Pengarang memilih dan mengangkat tokoh tersebut sekedar mewakili perasaan dan sifat yang dikehendakinya.
Tokoh-tokoh di atas mengalami peristiwa. Tokoh-tokoh ini berlakukan mengikuti alur kisah yang dikembangkan pengarang. Tokoh tidak berjalan apa maunya. Tokoh maju dan berkembang berdasarkan jalinan kisah yang dikembangkan pengarang. Berdasarkan jalinan peristiwa ini maka tokoh tertentu dapat berkembang dan dapat pula menoton tergantung dari penyebab yang dilakukan tokoh. Menurut Semi (1988: 37) tokoh cerita biasanya mengemban suatu perwatakan tertentu yang diberi bentuk dan isi oleh pengarang.
Ditinjau dari segi sikap, watak, cara berpikir, dan sebagainya tokoh dalam cerita itu dapat kita kelompokkan dalam tiga tokoh, yaitu: (1) tokoh protagonis, yakni tokoh yang memiliki watak dan sikap hidup yang baik sehingga disenangi pembaca, (2) tokoh antagonis, yakni tokoh yang memiliki watak dan sikap hidup yang jelek, buruk dan jahat, sehingga tokoh ini tidak disenangi oleh pembaca, dan (3) tokoh tritagonis, yakni tokoh yang selalu bertindak sebagai pihak ketiga yang berusaha menjadi juru damai dalam konflik yang terjadi antara tokoh protagonis dengan tokoh antagonis.
Berdasarkan peranannya tokoh dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peranan penting dalam cerita. Dialah yang menjadi pendukung ide / tema utama dalam cerita. Tokoh utama itu mungkin hanya seorang mungkin pula lebih dari seorang. Kalau lebih dari seorang, tentu mereka mempunyai peranan yang tidak sama, yang satu lebih penting/utama daripada yang lain. Tokoh utama yang paling penting dinamakan tokoh inti/tokoh pusat. Dinamakan inti karena tokoh itulah yang menjadi pusat/inti dan sendi seluruh jalan cerita bahkan cerita rekaan itu sendiri menjadi semacam riwayat hidup.
Penentuan tokoh utama bukan dilihat dari frekuensi kemunculannya, melainkan intensitas keterlibatannya dalam keseluruha alur cerita. Tokoh utama berhubungan dengan tokoh-tokoh yang lain aedangkan tokoh-tokoh yang lain itu tidak semua berhubungan satu dengan yang lain.
Tokoh bawahan adalah tokoh yang mendukung cerita perwatakan tokoh utama. Ia diperlukan agar tingkahlaku dan perbuatan, peristiwa dan kejadian yang dialami oleh tokoh utama menjadi wajar, hidup, dan menarik. Kehadirannya turut mempetajam dan menonjolkan peranan dan perwatakan tokoh utama serta memperjelas tema pokok atau tema mayor yang disampaikan. Selain itu, ia juga membuat sebuah cerita menjadi realistis dan sesuai dengan kenyataan sehari-hari.
    Tema
Menurut Sudjiman (1986: 74) tema adalah gagasan, ide atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap atau tidak. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tema dapat dijabarkan dalam beberapa pokok.
Pokok pikiran merupakan ide dasar yang dimanfaatkan penulis untuk mengembangkan cerita. Pengembangan pokok pikiran biasanya dihubungkan dengan unsur-unsur lain misalnya alur untuk melihat kelogisan perkembangan cerita. Dihubungkan dengan tokoh untuk melihat kesesuaian tokoh dengan ide dasar yang akan dikembangkan. Dihubungkan dengan karakter untuk melihat kesesuaian perkembangan watak dengan ide dasar cerita. Hubungan sebab akibat yan dijalin dalam sebuah kisah ini akan melahirkan sebuah cerita yang menarik.
Menurut Sumardjo (1997:56) tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu kepada pembacanya. Sesuatu yang ingin dikatakan itu bisa suatu masalah kehidupan, pandangan hidup tentang kehidupan ini atau komentar terhadap kehidupan ini. Kejadian ini semuanya didasari oleh ide pengarang.
Tema merupakan permasalahan pokok kehidupan yang memberontak pada jiwa pengarang untuk diungkapkan. Permasalahan pokok yang mendorong penulis atau pengarang untuk mengembangkan sebuah cerita dengan maksud permasalahan tersebut dapat diungkapkan. Pokok permasalahan yang diungkap pengarang dapat terjadi secara langsung, dapat pula dilakukan dengan cara disembunyikan pada bahasa-bahasa tertentu. Pengungkapan secara langsung ini dapat memudahkan pembaca untuk memperoleh keinginan dan maksud pembaca dalam tulisan tersebut. Sedangkan pengungkapan secara tersembunyi, memaksa pembaca untuk menemukan sendiri apa keinginan dan maksud pengarang menulis cerita tersebut. Kedua cara ini dalam konvensi karya sastra merupakan dua hal yang dibenarkan. Hanya saja bila dibandingkan antara pengungkapan tema secara langsung dengan pengungkapan tema secara tidak langsung maka, pengungkapan tema secara langsung memiliki kadar estetika yang rendah karena pembaca langsung dapat menangkap apa keinginan yang hendak disampaikan pengarang, sedangkan pengungkapan tema secara tidak langsung memiliki kadar estetika yang tinggi karena pembaca dipaksa dan di rangsang untuk memikirkan apa yang hendak disampaikan oleh pengarang.
Menurut Idrus (Karyawati, 2003: 19) sebuah tema merupakan sebuah persoalan manusia yang luas dan mendalam dan betul-betul dirasakan dan diterima sebagai persoalan manusia. Dalam meletakkan landasan-landasan yang luas dan mendalam dalam hal-hal yang paling konstan dan sungguh-sungguh dapat diterima bersama sebagai persoalan kemanusiaan.
Menurut Santoso (1995:117) tema sering kali disamakan dengan topik. Pada hal kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda (Semi, 1988:42). Selanjutnya dijelaskan  bahwa tema merupakan gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pembicaraan dalam karya sastra. Suatu tema merupakan arti pusat dalam sebuah cerita dan hubungan dengan arti karya sastra. Oleh karena itu tema harus dibedakan dengan topik. Topik dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai pokok pembicaraan, bahan diskusi dan buah mulut. Topik merupakan hal yang diacu dalam karya sastra. Topik sudah ada walaupun cerita tidak ditulis.

    Latar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 643) berarti keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra; keadaan atau situasi (yang menyertai ujaran atau percakapan).
Suatu peristiwa tentu terjadi pada tempat tertentu dan dalam ruang tertentu. Demikian konsep alam. Tidak ada satu kejadianpun yang terjadi tanpa batas ruang dan waktu. Sebuah kisah sebenarnya mengangkat suasana dan ruang di alam nyata dan membawa ke dalam pikiran pembaca. Suatu peristiwa atau kejadian dalam karya sastra tentu sudah dipikirkan penulis apakah suatu jalinan peristiwa ini dapat terjadi pada tempat ini atau tidak.
Peristiwa, kisah, dan tempat kejadian mestinya menjadi satu kesatuan yang utuh. Peritiwa tidak mungkin ada tanpa ruang. Ruang tidak akan bermakna tanpa peristiwa. Suatu tempat atau ruang akan membekas dalam jiwa pembaca bila kesesuain antara kisah atau peristiwa benar-benar sinkron.
Ruang dan waktu ini dimanfaatkan oleh para peneliti untuk meneliti, memeriksa dan mengklasifikasi sesuatu yang terjadi pada kurun waktu tertentu, dalam ruang tertentu dan suasana tetentu.
Menurut Novakovic (2003:39-40) setting merupakan sumber utama fiksi  Keutamaan setting tersebut diungkapkan dengan rumus : setting = Tokoh=Plot. Dari sebuah tempat terbentuklah tokoh ; dari motif yang dimiliki tokoh, bisa muncul sebuah plot. Tanpa adanya tempat dari berbagai tindakan yang  mempengaruhi sosok si tokoh, tidak akan ada jalinan antara berbagai peristiwa. Setting juga dapat dirumuskan dengan Setting + tokoh = plot. Dari hubungan tokoh dengan setting atau dari konflik yang dialami tokoh dengan setingnya bisa mendapatkan plot (atau, paling tidak sebagian dari sebuah plot atau sebuah titik dinamis untuk plot). 
Menurut Zulfahnur (1997:37) latar cerita terdiri atas latar fisik dan latar sosial. Termasuk dalam latar fisik adalah yang berupa benda-benda fisik seperti bangunan rumah, perabotan, kamar, daerah dan sebagainya. Latar sosial meliputi pelukisan keadaan sosial budaya masyarakat seperti adat istiadat, cara hidup, bahasa kelompok sosial dan sikap hidup yang melatari terjadinya cerita.
Latar fisik dan latar hayalan dalam karya sastra sebenarnya tidak memiliki batas. Meskipun dikatakan bahwa lapangan itu adalah latar nyata dan sorga itu adalah latar hayalan, tetapi dalan kenyataanyaan, lapangan tidak pernah masuk dalam kepada. Lapangan hanya dapat dipikirkan otak tentng luasnya. Untuk mengangkat lapangan dan memasukkannnya dalam kepadal tidak akan mungki. Sama juga dengan surga, meskipun surga itu tidak dapat ditatap oleh mata, tetapi sorga dapat dirasakan olehpikiran. Sama juga merasakan lapangan yang luas.

    Dialog
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 261) dialog berarti (1) percakapan (di samdiwara, cerita, dsb); (2) karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau lebih.
Dialog dalam drama tidak bisa disamakan dengan dialog yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan tersebut terdapat pada perbedaan ekspresi penyampaian. Dialog dalam drama, penyampaiannya disertai dengan ekspresi dan emosi dengan kadar tertentu. Ekspresi dan emosi ini sangat membantu pendengar atau penonton menemukan karakter yang diperankannya.
Dialog dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1.    dialig batin; kata-kata yang diucapkan oleh pemani untuk mengungkapkan pikiran atau perasaannya tanpa ditunjukkan kepada pemain lain;
2.    diolog horizontal; dialog yang dilakukan oleh seorang (lembaga, golongan dsb) yang keududukannya atau pengetahuannya sama atau seimbang;
3.    dialog interaktif; dialog yang dilakukan di televisi atau radio yang dapat melibatkan pemirsa dan pendenanr melalui telepon;
4.    dialog pemancing; kata-kata pemancing yang dilakukan oleh seorang pemain kepada pemain lain yang lupa akan percakapan lanjutannya;
5.    dialog pribadi; ucapan pemain kepda penonton, dan ucapan ini tidak terdapat dalam naskah;
6.    dialog vertikal; dialog yang dilakukan oleh seorang (lembaga, golongan dsb) yang kedudukannya lebih tinggi, seperti antara burug dan majikan;
7.    dialog wisata; dialog antara kelompok negara penerima wisatawan dan kelompok idustri pengirim wisatawan utnuk membicarakan perdagangan wisata di antara mereka
Menurut Budianta (2002:105) cakapan atau dialog adalah sarana yang telah disediakan oleh penulisnya agar cerita atau kisah yang ditampilkan itu nantinya berwujud suatu percakapan yang diujarkan oleh para pemain sehingga pendengar atau penonton dapat mengikuti alur cerita melalui apa yang mereka dengar.
Menurut Novakovich (2003:171) dialog pada dasarnya adalah percakapan. Para tokoh dalam karya fiksi harus berbicara satu sama lain. Mereka harus berbicara seperti orang betulan. Ini berarti bahwa dibutuhkan kemampuan untuk melukiskan percakapan orang-orang di sekitar kita. Dialog harus bisa memberikan spontanitas tetapi harus bisa menghilangkan pengulangan dari percakapan yang sesungguhnya. Dalam aplikasinya agar dialog tidak terkesan realis harus diciptakan suara yang berbeda-beda pada setiap tokoh. Dengan pilihan kata yang tepat dapat menampilkan daerah asal strata sosial, pendidikan dan cara berpikir.
    Amanat
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 67) amant adalah segala sesuatu yang ingin disampaikan pengarang, yang ingin ditanakannya secara tidak langsung ke dalam benak para penonton dramanya.
Harimurti Kridalaksana (183) berpendapat amanat merupakan keseluruhan makna konsep, makna wacana, isi konsep, makna wacana, dan perasaan yang hendak disampaikan untuk dimengerti dan diterima orang lain yang digagas atau ditujunya.
Amanat di dalam drama ada yang langsung tersurat, tetapi pada umumnya sengaja disembunyikan secara tersirat oleh penulis naskah drama yang bersangkutan. Hanya pentonton yang profesional aja yang mampu menemukan amanat implisit tersebut.
    Gaya bahasa     
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 68), gaya bahasa yang digunakan dalam drama sengaja dipilih pengarang dengan titik berat fungsinya sebagai sarana komunikasi.
Setiap penulis drama mempunyai gaya sendiri dalam mengolah kosa kata sebagai sarana untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Selain berkaitan dengan pemilihan kosa kata, bahasa juga berkaitan dengan pemilihan gaya bahasa (style). Gaya bahasa yang dipilih pengarang untuk kemudian dipakai dalam naskah drama tulisannya pada umumnya adalah bahasa yang mudah dimengerti (bersifat komunikatif), yakni ragam bahasa yang dipakai dalam kehidupan kesehatian. Bahasa yang berkaitan dengan situasi lingkungan, sosial budyaa, dan pendidikan.
    Petunjuk teknis
Petunjuk teknis adalah rambu-rambu yang sengaja dicantumkan oleh seorang penulis naskah drama sebagai penuntun penafsiran bagi siapa saja yang ingin mementaskannya.
Petunjuk teknis dalam naskah drama bisa berupa paparan tentang adegan demi adegan, profil tokoh cerita, latar cerita (tempat adegan) tata lampu, tata musik, tata panggung, dan daftar properti yang harus disiapkan.
Tema menurut WJS Poerwadarminta (185 : 1040) tema adalah pokok pikiran. Mursal Esten (1990) berpendapat tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran atau sesuatu yang menjadi persoalan.
Seorang pengarang drama, sadar atau tidak sadar pasti menyampaikan amanat dalam dramanya. Amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap orang dapat saja saling berbeda pendapat dalam menafsirkan amanat yang disampaikan pengarang drama.
    Pendekatan mimesis dan pendekatan strukturalisme
Pendekatan Mimesis
Menurut Abrams (1976: 8-9)  pendekatan mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Akar sejarahnya terkandung dalam pandangan Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, dasar pertimbangannya adalah dunia pengalaman, yaitu karya sastra itu sendiri tidak bisa mewakili kenyataan yang sesungguhnya, melainkan hanya sebagai peniruan. Secara hierarkis dengan demikian karya sastra berada di bawah kenyataan. Pandangan ini di tolak Aristoteles dengan argumentasi  bahwa karya seni berusaha menyucikan jiwa manusia, sebagai  catharsis. Di samping itu juga karya seni berusaha membangun dunianya sendiri.
Selama abad pertengahan karya seni meniru alam di kaitkan dengan adanya dominasi agama Kristen, di mana kemampuan manusia hanya berhasil untuk meneladani ciptaan tuhan. Teori  estetis ini tidak hanya ada di Barat tetapi juga  di dunia arab dan Indonesia. Dalam khazanah sastra Indonesia, yaitu dalam puisi jawa kuno seni berfungsi untuk meniru keindahan alam. Dalam bentuk yang berbeda, yaitu abad ke-18, dalam pandangan Marxis  dan sosiologi sastra, karya seni di anggap sebagai dokumen sosial. Dalam hubungan ini pendekatan mimesis memiliki persamaan dengan pendekatan sosiologis. Perbedaannya, pendekatan sosiologis tetap bertumpu pada masyarakat, sedangkan pendekatan mimesis, khususnya  dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya sastra.
Pendekatan mimesis Marxis merupakan pendekatan yang paling beragam dan memiliki sejarah  perembangan yang paling panjang. Meskipun demikian, pendekatan ini sering di hindarkan sebagai akibat  keterlibatan tokoh-tokohnya dalam dunia politik. Di Indonesia, misalnya, selama hamper tiga  dasawarsa, selama kekuasaan  Orde baru, pendekatan ini seolah-olah terlarang. Baru sesudah zaman reformasi pendekatan ini di mulai lagi, termasuk penerbitan karya sastra pengarang Lekra seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Di Indonesia pendekatan  mimetik perlu di kembangkan dalam rangka menopang keragaman khazanah kebudayaan. Pemahaman terhadap cirri-ciri kebudayaan kelompok  yang lain dapat meningkatkan  kualitas solidaritas sekaligus menghapuskan berbagai kecurigaan dan kecemburuan sosial.
    Pendekatan structural
Teori struktural atau biasa disebut saja dengan strukturalisme, adalah sebuah aliran pemikiran yang berpengaruh dalam khazanah pemikiran Barat. Dekade 60an dianggap sebagai masa pergolakan intelektual dengan pesatnya perkembangan teori strukturalisme. Bersamaan dengan beberapa teori lain seperti eksistensialisme, dan madzhab kritis (aliran Frankfurt). Pada masa ini pula nama Herbert Marcuse (salah satu tokoh madzhab frankfurt) menjadi semacam ikon pergerakan intelektual yang sedang naik daun saat itu. Tokoh inilah yang nantinya mengembangkan sayap teori struktural melalui pendekatan fungsionalisme struktural.
 Strukturalisme adalah bagian dari disiplin ilmu-ilmu sosial, yang perkembangnnya diawali di Perancis melalui tokoh Ferdinand de Saussure. Saussure adalah ahli filsafat kebahasaan berkebangsaan Swiss (1857-1913). Pada pengantar ini teori struktural akan sedikit banyak memberikan gambaran pada strukturalisme linguistik dan sosiologis antropologis.
Saussure memahami bahwa bahasa mempunyai struktur dan peraturan-peraturannya yang sistematik (Charles E Bressler, 1999:89). Teori inilah yang mampu mengimbangi pemikiran Marxisme yang sedang menjadi trend pemikiran di Perancis pada saat itu. Istilah strukturalisme sendiri diperkenalkan pertamakali oleh Roman Jakobson seorang ahli linguistik Russia. Kajian kebahasaan sebelum Saussure, hanyalah berkutat pada kondisi linguistik semata, yakni pada bentuk aturan kebahasaan yang disepakati, seperti grammar, ilmu nahwu, ilmu sharaf, dll.
Saussure menyebutkan bahwa dalam bahasa terdiri dari sekumpulan tanda-tanda. Tanda bahasa mempunyai hubungan dengan tanda yang lain. Hubungan antar tanda tersebut adalah relasi keberbedaan, yakni hubungan saling membeda antar tanda, dan karena inilah setiap tanda dapat dipahami. Hubungan keberbedaan ini kemudian dikenal dengan istilah oposisi biner (binary opposition). Pemahaman lebih jauh pada relasi-relasi antar tanda kemudian secara khusus disebut dengan ilmu semiotika atau semiologi.
Semiotika dan Munculnya Relasi Oposisi Biner   
Semiotika sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu semieon, yang artinya adalah “tanda”. Berdasarkan pendapatnya mengenai oposisi biner, Saussure mengembangkan semiotika ke dalam beberapa aturan pokok yang mengatur sistem tanda bahasa, sehingga dari sinilah kemudian lahir strukturalisme. Pertama, dalam pendapat Saussure, sebuah tanda khususnya tanda kebahasaan, merupakan entitas psikologis yang bersisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur “penanda” (signifier) dan “petanda” (signified). Kedua, elemen tanda-tanda itu menyatu dan saling tergantung satu sama lain. Kombinasi dari keduanya inilah yang kemudian menghasilkan “tanda” (sign). Penanda adalah aspek fisik dari tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda bahasa.
Relasi antara penanda dengan petanda terjadi begitu saja dan arbitrer. Karena itu kita perlu mengetahui kode-kode yang menyatakan kepada kata apa yang dimaknakan oleh tanda-tanda. Kode (code) adalah satu sistem dari konvensi-konvensi yang memungkinkan kepada seseorang untuk mendeteksi arti dalam tanda-tanda karena hubungan (Berger, 2000 : 219 ). Kedua adalah langue dan parole. Langue dimaksudkan sebagai penggunaan tanda bahasa secara umum atau oleh publik yang menyepakatinya, sedangkan parole adalah pemakaian tanda bahasa di tangan individu. Inilah yang membedakan kajian strukturalisme yang dikembangkan oleh Saussure dengan pendekatan linguistik yang lain, di mana pendekatan linguistik yang lain hanya berhenti pada tataran langue (Bertens, 2001 : 182).
Saussure memberikan contoh sederhana untuk memahami langue dan parole. Ketika bermain catur, seorang pemain harus mengikuti struktur aturan yang telah ada. Bidak ‘benteng’ memiliki gerak lurus, dalam konsep bahasa dianggap sebagai langue dari sebuah sistem struktur. Pemain yang menggerakkan bidak ‘benteng’ baik ke kiri, ke kanan, ke atas atau ke bawah dianggap sebagai parole. Kebebasan pemain catur dalam menggerakkan bidak ‘benteng’ tidak bisa keluar dari struktur sistem aturan permainan catur.
Perluasan Teori Struktural Oleh Levi Strauss
Teori Struktural menjadi semakin kuat setelah Levi Strauss mengembangkannya ke ranah yang lebih luas. Sebagai seorang antropolog, pandangannya pada konsep-konsep linguistik banyak dipengaruhi oleh antropologi. Kita dapat melihatnya pada konsep oposisi biner. Oposisi biner yang oleh Saussure hanya berkutat pada sistem keberbedaan tanda dengan tanda lainnya, menjadi lebih luas di tangan Levi Strauss. Oposisi biner adalahthe essence of sense making, yaitu struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap budaya dan dunia tempat kita hidup.
Strauss memandang bahwa cara pandang seseorang di dihasilkan dari proses kategorisasi. Sebuah kategori tidak dapat eksis tanpa berhubungan dengan kategori yang lain (tanpa adanya relasi dengan kategri lain). Sebagai contoh sederhana, kita berpandangan seseorang itu waras, karena berbanding dengan kategori yang lain, yakni kegilaan. Kita mengetahui sesuatu itu baik karena berbanding dengan ategori buruk, dan begitulah seterusnya. Terbentuknya struktur merupakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai relations of relations atau system of relation (sistim relasi).
Oposisi biner, sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Strauss, merupakan hasil kebudayaan. Karena produksi budaya, sistem tanda yang saling ber-oposisi tersebut akan selalu berubah. Oposisi biner berfungsi untuk memberikan batasan, logika, dan struktur pada persepsi, melalui penggolongan dan pemaknaan. Karena itulah persepsi seseorang akan berbeda-beda tergantung dengan sistem tanda yang dipahami. Selain the essence of sense making, bahwa oposisi biner mengatur sistem pemaknaan terhadap cara pandang (seseorang terhadap dunia luar), Strauss juga menyebut oposisi biner sebagai the second stage of the sense-making process, yakni penggunaan kategori-kategori sesuatu yang hanya eksis di dunia alamiah (sesuatu yang kongkret) untuk menjelaskan kategori-kategori konsep kultural yang abstrak.
John Fiske (1994) memberikan ilustrasi mengenai hal ini: konsep oposisi binerangin badai dan angin tenang (kongkret) misalnya, bisa disejajarkan dengan oposisi biner alam yang kejam dan alam yang tenang (abstrak). Proses transisi metafor dari sesuatu yang abstrak dalam sesuatu yang kongkret ini dinamakan Strauss sebagai the logic of concrete.
Masalah Ambigu (Anomali) dalam Teori Struktural
Sebagaimana konsepsi oposisi biner dalam teori struktural, bahwa oposisi biner saling berhubungan antar satu dengan yang lain, oposisi biner juga bisa ditransformasikan dalam sistem oposisi biner yang lain. Hubungan dan transformasi oposisi biner ini tentu selalu vis-a-vis, akan tetapi senyatanya, dalam oposisi biner ditemukan hal-hal yang tidak bisa di kategorikan dalam sistem struktural tersebut. Strauss menyebutnya dengan anomalous category, sebagian yang lain menyebutnya dengan ‘kategori ambigu’. Contoh; gay (tidak laki-laki juga tidak perempuan), remaja (tidak anak-anak juga tidak dewasa), dst. Posisi yang berada diluar dua kategori sistem oposisi biner ini menganggu stabilitas struktur oposisi biner.
Selain oposisi biner, yang perlu menjadi perhatian dalam teori strukturalisme adalah masalah perubahan yang terjadi dalam sebuah struktur. Perubahan ini disebut dengan transformasi. Transformasi adalah proses perubahan namun tidak secara keseluruhan, ada bagian-bagian tertentu dari suatu struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada.
Melakukan Pendekatan Menggunakan Teori Struktural
Teori struktural banyak digunakan untuk melakukan penelitian, untuk objek umum seperti kelompok masyarakat atau individu. Namun yang paling signifikan adalah penggunaannya untuk penelitian sastra. Dalam penelitian sastra, teori ini difungsikan untuk mengurai berbagai hubungan atau relasi antar tanda yang tertuang dalam teks sastra. Dalam melakukan kritik sastra melalui pendekatan struktural, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan;
1.    prinsip keseluruhan, yakni melihat hubungan antar struktur secara keseluruhan.
2.    prinsip hubungan keterkaitan, yakni setiap satu stkrutur berkait dengan sturktur yang lain. Makna teks hanya akan dapat didapatkan manakala berhubungan dengan struktur lain.
3.    transformasi; Makna teks dihasilkan dari adanya perubahan-perubahan struktur yang terjadi.
4.    regulasi diri; Makna teks dihasilkan dari dalam teks itu sendiri beserta hubungannya dengan teks lain, dan tidak dipengaruhi oleh pengarang.
5.    oposisi biner; Makna dihasilkan dari tanda-tanda yang saling beroposisi.
Kritik Pada Teori Struktural (Poststrukturalisme)
Saat ini teori struktural banyak mendapat kritik karena dianggap ahistoris dan lebih menguatkan keujudan struktur dalam masyarakat. Ketimpangan sosial dan ketidak kuasaan subordinan terhadap dominan dianggap sebagai efek dari konsep struktur. Mereka yang memberikan kritik terhadap teori struktural ini kemudian dikelompokkan sebagai post-strukturalisme, atau yang secara tumpang tindih ada mengatakan sebagai kelompok postmodernisme. Para tokohnya banyak yang dahulunya adalah tokoh struktural, seperti  Roland Barthes, Michel Foucault, Jaques Derrida. Pada bagian lain, bila memungkinkan saya akan sedikit mengulas tentang apa dan bagaimana teori post-struktural ini.
Sedikit Tentang Fungsionalisme Struktural.
Teori fungsionalisme struktural adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai “organ” yang bekerja demi berfungsinya seluruh “badan” secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan “upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif.”
Bagi Talcott Parsons, “fungsionalisme struktural” mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran.Kritik Takcott Parsons ini memang ada benarnya, merujuk pada posisi fungsionalisme yang memang hanya melakukan deskripsi pada objek tertentu dalam penelitian ilmu sosial. Demikianlah sedikit pengantar mengenai teori struktural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar