Translate

Kamis, 28 November 2013

WARTAWAN

KATA PENGANTAR
    Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt., karena atas berkat limpahan rahmat serta karuniaNyalah, makalah yang berjudul “Wartawan” ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas tentang seluk-beluk jurnalis dalam menjalankan profesi kewartawanannya. Dimulai dengan pembahasan mengenai hakikat wartawan, definisi dan jenis-jenis wartawan, sikap dan watak wartawan, bekal kerja wartawan, karakteristik wartawan profesional, kompetensi wartawan, hingga kode etik wartawan Indonesia.
Makalah ini merupakan salah satu bentuk tanggungjawab saya sebagai mahasiswa yang memprogramkan mata kuliah “Pengantar Jurnalistik” untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan wartawan—salah satu profesi mulia yang membutuhkan profesionalisme dan dedikasi.
Wartawan bukanlah suatu profesi yang mudah. Wartawan dituntut untuk bersikap independen, loyal, cepat, dan akurat dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Wartawan merupakan salah satu profesi yang turut membantu memperluas wawasan masyarakat terhadap banyak hal; menerangkan informasi yang masih simpang siur, serta menyampaikan fakta terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, olahraga, dan lain sebagainya, baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri. Sesungguhnya tanpa wartawan, kehidupan ini terasa “kering”.
Tidak penulis pungkiri bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun khususnya dari dosen pembimbing mata kuliah “Pengantar Jurnalistik” dan para pembaca, umumnya, agar penulisan selanjutnya dapat lebih baik.
Akhirnya, penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan siapa pun pembaca yang ingin memperdalam pengetahuannya terhadap seluk-beluk “wartawan”.
                            Kendari, 3 April 2012

                            Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................x i
DAFTAR ISI    ..................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................2
1.4 Manfaat...............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Wartawan.................................................................................4
2.2 Definisi dan Jenis-jenis Wartawan........................................................6
2.3 Sikap dan Watak Wartawan..................................................................7
2.4 Bekal Kerja Wartawan..........................................................................9
2.5 Karakteristik Wartawan Profesional....................................................14
2.6 Kompetensi Wartawan.........................................................................19
2.7 Kode Etik Wartawan Indonesia...........................................................20

BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..........................................................................................23
3.2 Saran....................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
         Pandangan klasik yang dikemukakan de Sola Pool (1972) mengenai posisi wartawan terhadap penguasa (negarawan) adalah bahwa wartawan mengkonotasikan dirinya sebagai The St. George, sementara pemerintah sebagai The Dragon. Dari jargon jurnalistik yang ada hal ini lebih dikenal dengan istilah relationship of government and the media. Jargon ini berasal dari Amerika Serikat karena di sana keadaan semacam ini sesungguhnya hanya terjadi di ibukota Washington DC dan mereka percaya hubungan dengan pemerintah memang demikian. Jadi wartawan dengan kata lain tidak bisa dipaksa untuk memberitakan sesuatu yang bersumber dari pemerintah.
           Di Amerika Serikat pers begitu bebas untuk memberitakan. Wartawan memiliki keluasaan yang besar untuk mencari dan menulis apa yang mereka suka. Di negara demokrasi, peran pers berbeda dengan negara otoriter. Di negara yang menganut sistem demokrasi, maka pers berfungsi sebagai watchdog terhadap pemerintahnya. Pers selain sebagai kawan juga adalah lawan. Hubungan antara wartawan, elit politik dan pemerintah begitu mewarnai perkembangan pers di negara demokratis, tidak terkecuali Indonesia. Meskipun pemerintah memiliki kontrol yang kuat terhadap pers, namun para wartawan/jurnalis juga memiliki aturan kebebasan seperti yang terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia.
         Namun, apakah jurnalis hari ini masih tunduk dan patuh  terhadap aturan yang terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia? Kenyataan yang ada di lapangan memperlihatkan masih banyak jurnalis yang belum profesional dalam menjalankan tugasnya. Misalnya, wartawan yang tidak tuntas memberitakan suatu permasalahan, wartawan yang “menjual berita” pada pihak tertentu, wartawan yang tidak moderat dalam memandang  sebuah permasalahan, dan lain sebagainya. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kemauan para jurnalis untuk memperbarui wawasannya tentang jurnalistik.
       Wartawan yang baik, hatinya jujur. Prinsip menghalalkan segala cara tak ada dalam kamus reportasenya. Wartawan yang handal punya ketajaman akan berita. Dia tahu kapan dan dimana mencari berita, siapa yang akan diwawancarai, pertanyaan seperti apa yang mesti ditanyakan, bagaimana mengajukannya, dan bagaimana memverifikasi hasilnya. Wartawan yang baik, bekerja lebih dari sekadar melaporkan berita. Dia bisa menggambarkan, menjelaskan, dan mengintrepertasikan kejadian-kejadian kompleks dan persoalan pelik.
        Oleh karena itu untuk menjadi wartawan profesional, seorang wartawan harus membekali dirinya dengan naluri berita, observasi, keingintahuan, mengenal berita, menangani berita, ungkapan yang jelas, kepribadian yang jelas, pendekatan yang sesuai, kecepatan, kecerdikan, teguh pada janji, daya ingat yang tajam, buku catatan, berkas catatan/referensi, kamus, surat kabar/majalah/internet/tv/radio,  dan selalu melakukan perbaikan demi kemajuan, sehingga publik sebagai “konsumen” berita akan merasa puas terhadap kinerja sang jurnalis.

1.2    Rumusan Masalah
Dengan adanya bahasan-batasan yang telah dikemukakan pada latar belakang penulisan, maka dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut:
1.    Apa hakikat wartawan dalam menjalankan profesinya?
2.    Bagaimana definisi dan jenis-jenis wartawan?
3.    Bagaimana sikap dan watak wartawan dalam menjalankan tugasnya?
4.    Apa sajakah bekal kerja wartawan dalam menjalankan tugasnya?
5.    Bagaimanakah karakteristik wartawan yang profesional?
6.    Apa sajakah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang wartawan?
7.    Apa sajakah kode etik wartawan Indonesia?

1.3    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.    Mengetahui hakikat wartawan dalam menjalankan profesinya.
2.    Mengetahui definisi dan jenis-jenis wartawan.
3.    Mengetahui sikap dan watak wartawan dalam menjalankan tugasnya
4.    Mengetahui bekal kerja wartawan dalam menjalankan tugasnya.
5.    Mengetahui  karakteristik wartawan yang profesional.
6.    Mengetahui  kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang wartawan.
7.    Mengetahui kode etik wartawan Indonesia.

1.4    Manfaat
Berdasarkan tujuan tersebut, maka penulisan makalah ini bermanfaat untuk:
1.    Bagi penulis. Makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang hakikat jurnalis, serta seluk beluk jurnalis dalam menjalankan profesi kewartawanannya.
2.    Bagi calon wartawan dan wartawan pemula. Makalah ini bermanfaat untuk menjadi referensi sederhana tentang profesi wartawan, sebagai gambaran bahwa wartawan merupakan profesi yang mulia dan harus dikerjakan atas dasar panggilan jiwa demi memberikan pelayanan yang berkualitas terhadap masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Hakikat Wartawan
       Wartawan datang dan pergi tetapi hanya sedikit goresan penanya yang dinanti orang. Jurnalis seperti (almarhum) Muchtar Lubis di Indonesia, Lilian Ross di Amerika, atau Robert Fisk di Inggris selalu dirindukan pembaca antara lain karena kejujurannya, pembawaannya yang menyenangkan, serta pikiran dan rasa keingintahuan mereka yang tinggi.
       Wartawan yang baik, hatinya jujur. Prinsip menghalalkan segala cara tak ada dalam kamus reportasenya. Dia berani independen, dia sadar akan kewajibannya mengumpulkan dan menerbitkan informasi untuk khalayak. Dia tak pernah mencuri-curi omongan dan bukan tipe orang yang gemar publisitas. Perkataan dan perbuatannya sama dan sejalan. Dia suka akurasi dan selalu mengecek fakta lebih dari sekali. Dia selalu berusaha melihat dua sisi dari sebuah kejadian.
        Wartawan yang handal punya ketajaman akan berita. Dia tahu kapan dan dimana mencari berita, siapa yang akan diwawancarai, pertanyaan seperti apa yang mesti ditanyakan, bagaimana mengajukannya, dan bagaimana memverifikasi hasilnya. Dia tahu bagaimana mengerahkan indra pengamatannya; bisa melihat dan mendengar apa-apa yang didengar orang-orang di jalanan. Dia tahu, dalam sekali pandang, apakah orang di hadapannya bercerita apa adanya atau sebaliknya, menyembunyikan sesuatu. Dia tahu cara menelusuri dokumen, membongkar file dan melacak setiap berkas. Dia tahu apa dan bagaimana melakukan investigasi, di bidang apapun. Dia telah menyerap keterampilan jurnalistik tertinggi: kemampuan belajar bagaimana untuk belajar. Dia seorang generalis dengan satu spesialisi: rasa ingin tahu.
         Wartawan yang baik, bekerja lebih dari sekadar melaporkan berita. Dia bisa menggambarkan, menjelaskan, dan mengintrepertasikan kejadian-kejadian kompleks dan persoalan pelik menyangkut orang per orang dan masyarakat secara keseluruhan. Dia, misalnya, bisa memahami persoalan hukum superpelik, mengerti detil teknis di bidang sains dan pertahanan militer, dan bisa menggunakan pandangan para ahli dan pakar untuk menjawab persoalan ekonomi dan politik, serta  melakukan semua itu dengan cepat.
Wartawan yang baik, tahu bahwa nyawa sebuah berita–tak peduli apapun mediumnya–terletak pada kejelasan tulisan: pendek dan kata-kata yang akrab, kalimat yang sederhana dan bahasa yang elok. Wartawan yang baik, orangnya aktif. Dia terus membuka mata dan telinga publik untuk berita.
Wartawan yang baik, orangnya teguh dan menjunjung tinggi fakta. Ideologinya bisa dibaca dari tulisan-tulisannya: pembelaan terhadap kepentingan publik dan perlawanan atas segala bentuk ketidakadilan. Dia tak mudah patah semangat dan mundur karena gangguan atau kesulitan selama bekerja. Dia selalu berhasil melawan godaan untuk mencampurkan fakta dan opini sedemikian rupa, sehingga dia bisa melaporkan sebuah kejadian yang benar.
        Wartawan, entah yang bekerja di surat kabar, majalah, radio, televisi, maupun yang di internet beroperasi 65 hari setahun dan 24 jam sehari. Jurnalisme bukan sekadar pekerjaan, tetapi sebuah jalan hidup di mana orang dituntut untuk selalu mencari gagasan baru – it is not just a job, it’s a way of life and you are always on the look out for a new idea. David Talbot, pemimpin redaksi Salon.com, ketika menanggapi buku The Elements of Jurnalism mengatakan bahwa jurnalisme merupakan panggilan jiwa yang tinggi. Semua yang terlibat mempunyai kewajiban yang lebih besar kepada audiences daripada kepada tuntutan pasar. Mereka seolah-olah ditarik oleh suatu kekuatan dari luar diri mereka untuk menjadi khusus serta sekaligus mengemban kewajiban yang khusus pula. Kewajiban yang diemban wartawan melahirkan tanggung jawab yang harus mereka pikul. Akar dari tanggung jawab ini terutama berasal dari kenyataan bahwa kita ini selain sebagai individu juga menjadi anggota masyarakat, yang dengan keputusan dan tindakan kita, dapat mempengaruhi orang lain. Semakin besar kekuasaan atau kemampuan kita mempengaruhi orang lain, semakin berat pula kewajiban moral kita.
        Berbicara soal tanggung jawab, Louis W. Hodges dalam Responsible Journalism menyatakan bahwa ada tiga kategori tanggung jawab yang bisa diterapkan dalam dunia pers.
Pertama, tanggung jawab yang didasarkan pada penugasan. Ada atasan yang memberi tugas kepada bawahan bagaikan pada hirarki militer, ataupun hubungan guru-murid, majikan-karyawan. Dalam masyarakat tertentu, tanggung jawab pers bisa ditentukan oleh pemerintah. Pers hanya merupakan kepanjangan tangan dari penguasa. Pemerintah otoriter bisa mendikte pers dengan larangan-larangan untuk tidak melakukan atau mengharuskan memberitakan ini dan itu.
        Kedua, tanggung jawab berdasarkan kontrak. Tanggung jawab ini berdasarkan perjanjian tidak langsung dengan masyarakat. Kedudukan kedua belah pihak adalah setara. Masyarakat menjanjikan kepada pers sebuah kebebasan  untuk melaksanakan tugasnya dengan asumsi bahwa pers akan melayani kebutuhan masyarakat akan informasi dan opini.
Ketiga, tanggung jawab yang timbul dari diri sendiri. Wartawan sejati biasanya mengembangkan pengertian tentang siapa sebenarnya mereka itu. Mereka dapat membangun dalam jiwa mereka naluri untuk berbuat kebaikan. Hal ini dapat mereka laksanakan berkat dorongan, demi prinsip, dan layanan kepada orang lain.
Terkait dengan tanggung jawab berdasarkan kontrak dan tanggung jawab yang muncul dari diri sendiri, pers itu bersifat bebas dan bertanggung jawab kepada masyarakat untuk menyampaikan berita-berita yang akurat, menginformasikan kinerja pemerintah, tidak masuk ke masalah pribadi, atau menyakiti seseorang, dan sebagainya.

2. 2 Definisi dan Jenis-jenis Wartawan
      Wartawan adalah sebuah profesi bagi pemburu berita, atau biasa pula disebut sebagai juru warta, pembawa berita, newsgatter, pressman, komunikattor massa, nyamuk pers, kuli tinta, dan pembela kepentingan rakyat. Dari segi intilah wartawan merupakan orang yang pekerjaannya mencari berita. Selanjutnya, berita-berita tersebut diolah dan disusun untuk dikirim ke meja redaksi yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
Dalam UUD Tahun 1996 pasal 1 dan 3 disebutkan, bahwa:
“Kewartawanan adalah pekerjaan/kegiatan/usaha yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan, dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan-ulasan, dan lain-lain sebagainnya untuk perusahaan, radio, televisi, dan film.
      Tugas wartawan itu sendiri sebagai peliput, penyusun, dan penyebar informasi. Hal pertama yang dilakukan wartawan adalah meliput setiap peristiwa yang pada akhirnya dijadikan bahan berita dan disampaikan kepada publik untuk dijadikan informasi. Secara garis besar wartawan dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1.    Wartawan profesional, adalah wartawan yang memahami tugasnya dengan baik untuk memaksimalkan isi berita sesuai dengan fakta yang ada dan menggunakan bahasa yang baik dan benar yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan etika.
2.    Wartawan freelance, wartawan yang tidak terikat pada satu penerbitan atau satu surat kabar saja. Umumnya, wartawan freelance mencari berita dan nantinya wartawan tersebut disalurkan keberbagai media.
3.    Koresponden, wartawan yang bertugas di daerah  dan merupakan daerah yang berbeda dengan kantor pusat penerbitan berita. Koresponden bertugas mencari berita yang nantinya akan dikirim melalui sarana komunikasi seperti telepon, faksimili, email, dan lain-lain.
4.    Wartawan kantor berita, wartawan yang bertugas mencari berita untuk satu kantor berita dan nantinya akan disalurkan atau dijual ke berbagai lembaga penerbitan yang membutuhkan.

2. 3 Sikap dan Watak Wartawan
      Semua wartawan pada umumnya hidup dengan sejumlah nilai-nilai yang dipercaya bisa menjaga profesionalisme yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun. Semua wartawan memang hidup dengan nilai-nilai yang ketat. Ada berbagai aturan, etika, dan tatalaku yang umumnya harus dipenuhi. Misalnya, selain etika jurnalistik yang dianut dalam organisasi, ada juga peraturan perusahaan di tempat mereka bekerja. Berikut adalah 18 sikap dan watak wartawan yang merupakan pedoman profesi, sekaligus nilai-nilai yang harus dipertahankan dalam bekerja.
1.    Wartawan sebagai panggilan hidup. Hidup sebagai wartawan adalah
hidup yang total, yaitu menyerahkan diri secara penuh untuk mengabdi
pada kepentingan orang lain. Pekerjaan seorang wartawan menuntut
setiap saat dirinya berada di suatu tempat, kapan, dan di mana saja mereka dibutuhkan.
2.    Sikap kritis dan selalu ingin tahu. Wartawan pada hakekatnya harus
selalu mengembangkan sikap kritis, peka, ingin tahu yang besar pada
setiap persoalan dan peristiwa. Seorang wartawan sebaiknya setiap hari
selalu membaca berbagai koran, majalah, dan buku terbitan dalam dan
luar negeri. Semuanya dibaca bukan karena memang mendesak untuk
dibaca, tapi untuk mengantisipasi agar tak ada berita penting yang
lolos dari pengamatan.
3.    Kecepatan dan ketepatan. Seorang wartawan tak membiasakan diri
untuk menunda pekerjaan. Berita harus selalu dikejar, setelah itu
didiskusikan dan ditulis tanpa mengabaikan faktor kecepatan  (deadline)
dan ketepatan (akurasi) yang jadi salah satu ukuran prestasi kerja
seorang wartawan.
4.    Etos kerja yang tuntas. Etos ini menuntut cara kerja yang tak kenal
lelah. Pekerjaan rutin pada hekikatnya tak akan menjadikan wartawan
kian lemah. Justru sebaliknya, pekerjaan akan kian menantang munculnya
kreativitas baru.
5.    Lobbying. Lobbying dengan berbagai pihak (instansi maupun
perorangan) mutlak diperlukan wartawan guna menjaring informasi,
sekaligus menambah dan memperluas wawasan.
6.    Sikap kelembagaan. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan
karena itu dibutuhkan kerja sama tim dalam lembaga.
7.    Sikap saling koreksi. Pada dasarnya wartawan harus mengembangkan
sikap saling koreksi di antara sesamanya. Koreksi jangan menunggu
datang dari orang luar. Kalau hal terakhir yang terjadi, berarti si
wartawan sedang digugat dan diancam pihak luar untuk diperadilankan.
8.    Sikap mencintai pekerjaan. Mencintai pekerjaan berarti selalu
berupaya membuat karya sesempurna mungkin. Dalam persoalan yang
berhubungan dengan orang atau pihak lain, wartawan akan berhati-hati
untuk tidak membuat pemberitaan yang bisa melukai.
9.    Sikap bersaing secara sehat. Setiap wartawan akan terlibat dalam
persaingan meningkatkan kemampuan dan membuat karya yang lebih
berkualitas. Sikap persaingan sehat ini akan mendorong munculnya
dinamika, wacana, dan model jurnalisme yang lebih bermutu.
10.    Bekerja terencana. Wartawan selalu bekerja secara terencana untuk
memperoleh hasil yang maksimal. Dalam perencanaan ada sasaran dan
target yang hendak dicapai.
11.    Wartawan sebagai pengamat. Wartawan pada hakikatnya adalah seorang
pengamat yang cermat. Terkadang ia juga dituntut jadi peneliti.
Kecermatan dan pengetahuan akan suatu hal dibutuhkan untuk memperoleh gambaran lengkap, penjelasan latar belakang yang cukup detil, dan akurasi suatu peristiwa hingga laporan tidak kering dan dangkal.
12.    Sikap tak apriori. Wartawan harus memiliki komitmen yang tinggi
terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ia tak memojokkan narasumber dalam
pemberitaannya apalagi dengan cara tak manusiawi atau pun bersikap
sinis pada sebuah persoalan. Wartawan juga tak menempatkan dirinya
sebagai “lawan” yang siap menerkam seseorang yang melakukan kesalahan. Wartawan juga tak boleh melakukan vonis terhadap suatu permasalahan yang masih “kabur” tingkat kebenarannya.
13.    Sikap sangsi yang santun. Wartawan wajib selalu meneliti dan
menguji kebenaran sebuah berita serta memperkayanya dengan berbagai
fakta baru. Setiap pernyataan tak boleh langsung dipercaya, tapi kita harus menyangsikannya secara santun (quit doubt of disbelieve) tanpa perlu meremehkan.
14.    Sikap sebagai inspektur. Wartawan pada dasarnya bukan sekadar
melakukan fungsi sebagai kamerawan, juru penerang, pemandu (guide),
dan sastrawan tapi juga harus menjalankan fungsi seorang inspektur
yang baik. Wartawan tidak hanya bisa meng“angguk-angguk” mendengar
penjelasan seorang pejabat, tapi juga bisa mencari keanehan, rekayasa,
dan ketidakberesan suatu hal yang dilihatnya, mirip dengan seorang
penilik sekolah.
15.    Kritik untuk perbaikan. Pada dasarnya kritik wartawan adalah
konstruktif. Jika wartawan melancarkan kritikan, ia selalu memberi
kesempatan orang yang dikritiknya untuk bicara menjelaskan dan
memberikan argumentasi. Dengan demikian, dalam menjalankan fungsi
kontrolnya, wartawan selalu bertindak arif dengan mengemukakan hal-hal
yang baik dan perlu diteladani.
16.    Hati-hati terhadap unsur "SARA". Wartawan selalu berhari-hati
terhadap berita yang berkaitan dengan pertikaian  suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dan tidak mempolitisir sebuah pertikaian biasa, adu domba, atau sebuah kriminalitas menjadi pertikaian SARA. Wartawan harus melakukan identifikasi yang cukup dengan mempertimbangkan kemungkinan paling buruk dari pemberitaannya. Wartawan pada hakekatnya tidak pernah “menyiramkan bensin ke dalam kobaran api’.
17.    Check and recheck. Wartawan tidak menelan mentah-mentah setiap
informasi tanpa mengecek kebenaran informasi yang diterimanya. Ia
selalu melaporkan selengkap dan seobjektif mungkin setiap kejadian
tanpa memasukkan opini dalam laporannya.
18.    Memberi yang terbaik. Wartawan selalu bersikap cepat tanggap
terhadap keluhan dari luar, terutama terhadap media tempatnya bekerja.
Ia selalu mempersembahkan hal yang terbaik pada publik. Apa yang
dikerjakannya semata bukan urusan teknis, tapi juga mencakup masalah
etika.

2.4 Bekal Kerja Wartawan
       Wartawan sekarang tidak lagi hanya menceritakan kepada pembaca mengenai apa yang terjadi saja. Dia harus juga bisa memberikan arti dan apa yang dapat dilakukan oleh pembaca. Menurut John Tabbel dalam bukunya Opportunities in JournalismCarees, wartawan masa kini–dalam lingkup pekerjaannya sebagai wartawan–harus mampu menjadi seorang perencana (planner), periset (researcher), pelapor (reporter), penulis (writer), penyunting (editor), dan administrator. Untuk melaksanakan semuanya ini, wartawan harus membekali diri dengan:
1.    Naluri berita-nose for news
Wartawan harus memiliki indera keenam untuk mengetahui mana yang berita, mana yang bukan. Tetapi ada pula yang harus mengembangkannya. Ada wartawan yang memandang, tetapi tidak melihat. Ada pula yang mendengar tetapi tidak menyimak. Detail yang tidak tampak inilah yang bisa membedakan antara berita rutin dengan berita yang menarik, untuk dibaca. Wartawan yang baik, ketidakadaan bisa menjadi sesuatu. Selalu ada cerita di balik sesuatu.
Mengenai naluri berita ini, wartawan harus mampu melihat segala kemungkinan suatu peristiwa menjadi berita. Ini meliputi: (1) kemampuan mengenal informasi yang bisa menarik perhatian pembaca; (2) kemampuan mengenal petunjuk yang mungkin sangat umum tetapi dapat membawa ke sesuatu penemuan yang penting; (3) kemampuan mengenal yang relatif penting dari sejumlah fakta yang menyangkut masalah yang sama; (4) kemampuan mengenal berita lain yang ada hubungannya dengan informasi yang ada di tangan.
2.    Observasi
Bakat pengamatan atau obserfasi ini memungkinkan wartawan melihat perbedaan, menemukan nuansa, mencium pertentangan antaraberita yang biasa saja dengan berita yang baik. Kemampuan untuk mengingat dan menangkap warna, detail, dan kutipan-kutipan, akan membuahkan berita menarik.
3.    Keingintahuan
Tanpa rasa ingin tahu, karier seorang wartawan akan punah. Keingintahuan adalah senjata bagi wartawan yang harus selalu diasah. Keingintahuan menghasilkan kreativitas dan kreativitas menghasilkan imajinasi, ketekunan, semangat, dan penilaian yang baik. Wartawan yang baik, bisa mengambil inisiatif sendiri yang disebut selfstarter. Mereka tidak menunggu sampai ada penugasan tetapi mengembangkan gagasan-gagasan sendiri.
4.    Mengenal berita
Wartawan harus mengenal berita seperti yang digariskan oleh surat kabarnya. Ini berarti wartawan harus mempelajari falsafah dan sejarah surat kabar di mana dia bekerja.
5.    Menangani berita
Wartawan harus tahu prosedur dan perlengkapan yang perlu untuk mendapatkan dan menyajikan berita terbaik. Ia harus tahu mencari fakta, urutan kepentingan, dan di mana mendapatkannya. Ada kebebasan dalam menulis. Tetapi kebebasan ini ada batasnya, yaitu moral-moral limits to freedom. Yang dimaksud dengan moral di sini adalah etika atau budaya sopan-santun tentang perilaku yang baik dan buruk yang menjadi dasar kehidupan sosial. Ingat akan selera yang baik-good taste, dan selera yang buruk-bad taste.
6.    Ungkapan yang jelas
Wartawan harus mampu mengekspresikan dirinya, baik dalam tulisan maupun kata-kata. Penguasaan bahasa sangat penting bagi wartawan. Paula LaRocque dalam artikel Language and Lost Credibility mengatakan: “Antara penulis dan pembaca hanya ada bahasa. Bila pengacara tidak tahu tentang hukum, dokter tidak tahu tentang obat, koki tidak tahu tentang masakan, semua akan kehilangan pekerjaannya. Hal ini tidak boleh terjadi pada wartawan dan editor karena konsekuensinya akan besar skali bagi medianya. Ungkapan yang buruk merupakan sumber kekesalan bagi pembaca. Dan bila untuk hal-hal kecil seperti tanda baca, ejaan, nama, alamat saja sudah salah, bagaimana pula untuk hal-hal yang lebih besar. Akhirnya masyarakat pembaca akan meninggalkan kita.”

7.    Keperibadian yang jelas
Karena sering melibatkan kontrak pribadi maka wartawan harus memiliki keperibadian yang menyenangkan. Wartawan harus pintar bergaul dengan semua orang. Sebagai manusia biasa, terkadang terjebak pada prasangka pribadi (personal bias) yang berakar dan muncul karena lingkungan hidup, keluarga, agama, budaya, dan masa kecil, misalnya kebencian terhadap kulit berwarna (di Amerika), suku, golongn, atau agama. Latar belakang seseorang sangat menentukan. Oleh karena itu, agar tulisannya menjadi terbuka, dia harus berusaha sungguh-sungguh mengatasi semua itu.
8.    Pendekatan yang sesuai
Wartawan harus mengembangkan beragam kemampuan untuk berhubungan dengan berbagai lapisan dalam masyarakat, baik horizontal maupun vertikal. Ia harus bisa berhadapan dengan orang-orang kasar maupun sopan, maupun dengan pejabat tinggi.
9.    Kecepatan
Wartawan harus mampu bekerja efisien pada kecepatan tinggi, yang tidak ambruk atau patah semangat di bawah berbagai macam tekanan, antara lain tekanan waktu. Carl Lindstrom, editor Hardford Tones berkata, jam di ruang redaksi adalah  penguasa kita semua. Wartawan menjadi abdi dari jarum jam yang selalu bergegas menuju deadline. Tidak pernah ada waktu bagi wartawan utuk melakukan tugas sebaik seperti yang diinginkan. Perumpamaan yang dikemukakan Lindstrom adalah kita bagaikan berlari di ladang gandum yang sudah masak semua dan menyambar segenggam bulir terbaik, kemudian meninggalkan panen besar pada penuai lain. Kekayaan yang tersisa itu dinikmati oleh penerbitan mingguan atau bulanan.
Gene Roberts, mantan editor Philadelphia Inquire, berkata: “Serat kabar harus menjadi demokrasi partisipatif sampai 20 menit sebelum deadline, setelah itu surat kabar menjadi monarki absolut.” Semua wartawan menghadapi tirani dari deadline dan kontrol yang dijalankannya.


10.    Kecerdikan
Wartawan yang berhasil adalah mereka yang dikaruniai dan bisa memanfaatkan kecerdikannya. Ia harus selalu berusaha keras mendapatkan gagasan-gagasan orisinal dalam mengumpulkan berita, terutama dalam reportase investigasi. Mark Potter, wartawan televisi ABC, menghadapi jalan buntu ketika hendak mewawancarai pengungsi Haiti di Miami. Mereka tidak mau berbicara karena kebanyakan adalah pendatang ilegal dan mereka mengira Potter adalah pejabat imigrasi yang akan memulangkan mereka. Potter tidak putus asa dan mencari akal untuk menembus kebuntuan ini. Akhirnya, ia berhasil menghubungi pekerja sosial yang sudah mendapat kepercayaan dari masyarakat Haiti ini. Pekerja sosial ini memperkenalkan Potter dengan seorang Haiti, namun ia tidak mendapatkan informasi yang diinginkan, tetapi dari orang ini Potter dikenalkan pada saudaranya dan dari saudaranya ia bisa mewawancarai banyak pengungsi lain.
11.    Teguh pada janji
Wartawan harus hati-hati membuat janji, terutama dengan narasumber berita. Ingkar janji akan mengancam kelanjutan hubungan dengan narasumber.
12.    Daya ingat yang tajam
Ada orang yang dilahirkan dengan bakat daya ingat yang kuat, tetapi ada yang memperolehnya dengan latihan. Alat yang terbaik bagi wartawan adalah buku catatan.
13.    Buku catatan
Buku catatan sngat penting bagi seorang wartawan. Namun, adakalanya buku catatan itu menjadi hambatan dalam suatu wawancara. Orang kadang-kadang takut atau menjadi gugup ketika melihat wartawan mencatat apa yang mereka katakan. Bila ini terjadi maka dibutuhkan daya ingat wartawan, dan bila usai wawancara, segeralah mencatatnya dalam buku catatan selagi ingatan masih segar. Pelajari juga bagaimana menggunakan tape recorder secara efektif, namun yang terbaik tetap buku catatan.


14.    Berkas catatan/referensi
Berkas-berkas di perpustakaan mengenai guntingan berita dan referensi lainnya adalah alat yang penting dalam menyiapkan tugas dan mendapatkan latar belakang sebelum menulis berita. Demikian pula mencari bahan-bahan dengan membuka komputer. Melakukan penelitian harus menjadi sifat dasar seorang wartawan.
15.    Kamus
Seorang wartawan harus mempunyai kamus berbagai bahasa. Hal ini penting untuk perbendaharaan kata dan mengetahui makna dan tulisan yang tepat dari suatu kata. Ingat akan akurasi.
16.    Surat kabar/majalah/internet/tv/radio
Wartawan harus membaca surat kabar, baik surat kabar sendiri maupun surat kabar lain terutama yang menjadi saingannya. Bacalah juga berbagai majalah. Jangan lupa mendengarkan radio dan menonton televisi atau membuka internet untuk mendapatkan petunjuk berita, perbedaan pandangan dan pengetahuan mengenai peristiwa yang sedang terjadi. Menonton televisi juga akan membantu wartawan mengenal wajah-wajah orang tertentu.
17.    Perbaikan demi kemajuan
Wartawan harus selalu berusaha memperbaiki diri walaupun ia telah berpengalaman. Dengan perbaikan diri ini maka akan ada kemajuan.

2.5 Karakteristik Wartawan Profesional
Adapun menurut penulis blog romelteamagazines.wordpress.com, wartawan profesional memiliki beberapa karakteristik, yakni:
pertama, menguasai keterampilan jurnalistik. Seorang wartawan mesti memiliki keahlian (expertise) menulis berita sesuai kaidah-kaidah jurnalistik. Ia harus menguasai teknik menulis berita, juga feature, dan artikel. Untuk itu, seorang wartawan mestilah orang yang setidaknya pernah mengikuti pelatihan dasar jurnalistik. Ia harus terlatih dengan baik. Keterampilan jurnalistik meliputi antara lain teknik pencarian berita dan penulisannya, di samping pemahaman yang baik tentang makna sebuah berita. Ia harus memahami apa itu berita, nilai berita, macam-macam berita, bagaimana mencarinya, dan kaidah umum penulisan berita.
Kedua, menguasai bidang liputan (beat). Idealnya, wartawan menjadi seorang “generalis”, memahami dan menguasai segala hal, sehingga mampu menulis apa saja dengan baik dan cermat. Namun, yang terpenting ia harus menguasai bidang liputan dengan baik. Wartawan olahraga harus menguasai istilah-istilah atau bahasa dunia olahraga. Wartawan ekonomi harus memahami teori-teori dan istilah ekonomi. Demikian seterusnya.
Ketiga, memahami serta mematuhi etika jurnalistik. Wartawan yang profesional memegang teguh etika jurnalistik. Untuk wartawan Indonesia, etika itu terangkum dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang sudah ditetapkan Dewan Pers sebagai Kode Etik Jurnalistik bagi para wartawan di Indonesia. Kepatuhan pada kode etik merupakan salah satu ciri profesionalisme, di samping keahlian, keterikatan, dan kebebasan. Dengan pedoman kode etik itu, seorang wartawan tidak akan mencampuradukkan antara fakta dan opini dalam menulis berita; tidak akan menulis berita fitnah, sadis, dan cabul; tidak akan “menggadaikan kebebasannya” dengan menerima amplop; hanya menginformasikan yang benar atau faktual; dan sebagainya.
Selain itu, ada pula beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang wartawan, yaitu: (1) Menempatkan pekerjaan sebagai tujuan mulia; (2) tidak arogan; (3) akurat; (4) bekerja kecepatan tinggi; (5) jujur terhadap kebenaran.

Tujuan Mulia
Wartawan memang mempunyai tujuan mulia. Paus Johanes Paulus II berkata: “dengan pengaruh yang luas dan langsung terhadap opini masyarakat, jurnalisme tidak bisa dipandu hanya oleh kekuatan ekonomi, keuntungan, kepentingan khusus. Jurnalisme haruslah diresapi sebagai tugas suci, dijalankan dengan kesadaran bahwa sarana komunikasi telah dipercayakan kepadanya demi kebaikan orang banyak”
    Senang rasanya bagi seorang wartawan bila bisa menolong orang yang sedang menghadapi kesulitan dengan menyampaikan berita dan gagasan tentang dunia sekitar mereka. Dan inilah yang memang dibutuhkan masyarakat. Untuk lebih meningkatkan kredibilitas, wartawan dianjurkan untuk menghargai audiencesnya dengan menyajikan apa yang diharapkan mereka sebagai berita; menjadikan prioritas utama untuk tidak menyakiti.
    Dalam pekerjaan sehari-hari wartawan memeang kerap “menyakiti” orang, misalnya menulis tentang pejabat yang korup, atlet yang gagal, aktris yang tidak sukses, pengusaha yang bangkrut, dan banyak lagi. Namun bila hal ini dilakukan demi melayani kepentingan yang lebih besar, maka hal ini masih dapat dianggap sebagai efek samping yang layak diterima. Prinsip menyakiti ini menyatakan bahwa kebebasan seseorang dibenarkan untuk dibatasi, bila tindakan orang itu merugikan orang banyak lainnya. Jurnalisme selalu menjadi pekerjaan bagi orang-orang etis, kata novelis Leslie H. Whitten, sebab upah mereka rendah dan mereka menjalankan pekerjaan karena percaya hal itu memang baik dilakukan dan juga karena nama mereka sebagai penulis.
    Unsur idealisme dalam pekerjaan wartawan memang sangat menonjol. Namun unsur ini harus ditopang juga oleh bisnis perusahaan yang sehat. Claude Sitton, direktur editorial dan wakil presiden Observer Publishing Company, menyatakan bahwa surat kabar yang tidak sehat dalam bisnisnya menjadi lemah dan rentan terhadap orang-orang yang ingin memanfaatkan surat kaber itu untuk kepentingan pribadi.
    James C. Thomson Jr., kurator Nieman Foundation, mengatakan bahwa surat kabar harus mengoperasikan keduanya: “mendapatkan uang” (setidaknya tidak rugi) dan “berbuat baik” (seperti mengungkapkan ketidakadilan dan dengan demikian memperbaiki masyarakat). Karena ketegangan “antara keserakahan (greed) dan idealisme?, Thomson percaya bahwa setiap surat kabar memiliki “dua budaya, atau setidaknya pandangan, yang terkadang bertentangan antara yang satu dengan yang lain: di satu pihak, wartawan dan editor, yang biasa berperan membongkar dan menyebarluaskan kebenaran; dan di pihak lain, pemilik, penerbit, manajemen, yang berusaha mempertahankan bisnis dan mengusahakan keuntungan yang besar” Otis Chandler, pemimpin redaksi Times Miror Company, percaya bahwa surat kabar yang sukses tidak akan membiarkan departemen bisnis masuk ke area editorial. Mereka memberikan keleluasaan pada departemen editorial untuk sepenuhnya bebas meliput berita seperti apa yang dilihatnya.
Untuk mempertahankan imbang kedua sikap ini, memang tidak mudah, terutama menghadapi berbagai macam godaan, sehingga terkadang harus ada yang dikorbankan.

Tindak Arogan
Sikap yang kerap timbul di redaksi adalah menyepelekan intelegensia pembaca; dan ini adalah sikap arogan. Pembaca surat kabar terdiri dari orang-orang paing terdidik dan kita harus berusaha menjadi sekurang-kurangnya secerdas mereka. Kesalahan akan pasti terjadi, walaupun kita berusaha sebaik-baiknya, dan sebagian besar pembaca akan memaafkan kekeliruan yang sekali-kali terjadi yang secara jujur segera diperbaiki. Kesalahan-kesalahan yang sulit dimaafkan pembaca dan akhirnya menghancurkan kepercayaan mereka terhadap kita atau kita tidak peduli.
Sikap arogansi ini adalah satu dari tiga sikap yang bisa menyebabkan jatuhnya seorang wartawan dan medianya. Dua sikap lainnya adalah sikap elitisme dan sikap merasa diri  paling benar-holier than thou attitude.

Akurat
Unsur kredibilitas memang harus menjadi pegangan bagi apa yang diucapkan, dilakukan, dan ditulis oleh wartawan. Karena itu wartawan ditutut untuk teliti-accurate. Akurasi bukan hanya menjadi suatu isu editorial (edittorial issue). Akurasi adalah suatu nilai dasar (fundamental value) yang harus selalu diterapkan tanpa syarat, baik oleh wartawan maupun editor.
Akurat berati, kita harus mendapatkan informasi yang pasti, yang tidak bisa dibantah. Wartawan harus sadar bahwa menduga, mengira, dan ceroboh dapat membawa bencana. Berita yang tidak akurat dapat mengakibatkan tuntutan hukum, dan surat kabar yang tidak akurat akan kehilangan kredibilitas yang akhirnya akan kehilangan prestise.
Akurasi adalah juga standar etik, di samping standar profesional dan operasional yang harus diterapkan oleh para wartawan. Memang, akurasi ini bisa menjadi penggangu karena wartawan harus bekerja di bawah tekanan waktu-deadline. Tekanan untuk menyampaikan berita kepada publik selagi masih hangat kerap menyebabkan kekeliruan-kekeliruan. Karena itu banyak ruang redaksi banyak menempatkan peringatan di Internasional News Service: “Get It first, But Get it Right” Jadilah yang pertama untuk mendapatkan berita, tetapi yang utama berita itu harus benar.
Tekanan persaingan antarmedia memang menjadi masalah bagi redaksi. William G. Moll dari WKRC-TV berkata bahwa kewajiban media adalah “mendapatkan yang benar dulu, bukan menjadi yang pertama. Prioritas utama adalah mendapatkan yang besar.” Seperti Karen Baker dari The News Tribune-Toeana, “pembaca tidak akan mengkritik bila kita terlambat satu hari. Tetapi mereka akan ingat terus bila kita terlambat satu hari.” Chicago Tribune mempunyai pengalaman pahit tentang ini. Karena ingin menjadi yang pertama dalam memberitakan hasil pemilihan presiden Amerika, koran yang bekerja dalam tekanan deadline ini menurunkan berita dengan judul “Dewey defeats Truma.” Truman diberitakan kalah padahal Trumanlah yang keluar sebagai pemenang. Sejak itu, Chicago Tribune mempunyai kebijakan tidak tertulis: Lebih baik menjadi yang terakhir daripada salah-it is better to be last than wrong. Namun, Gregory L. More dari teh Boston Globe berkata, “tetap bermasalah bila kita terlambat. Pembaca akan pindah saingan kita” bila berulang kali terlambat melaporkan berita-berita penting.

Kecepatan
Michael Oreskes dari New York Times menulis dalam American Journalism Review, persaingan bukanlah hal yang baru bagi wartawan; demikian pula bekerja dengan kecepatan tinggi. Yang jelas, wartawan adalah seseorang yang mampu menghasilkan tulisan yang dapat dipercaya dalam keadaan tekanan waktu. Dan memang, dia harus pandai bersikap tenang dalam menghadapi berbagai tekanan. Batas waktu atau deadline bukan alasan untuk ketidaksempurnaan. Dalam peliputan batas waktu-deadline reporting-ini, wartawan harus bisa mengahsilkan berita dengan kecepatan kilat yang isinya seakan-akan tidak dibuat dengan terburu-buru. Hasilnya adalah suatu cerita yang kaya dengan detail dan suara dari lokasi kejadian yang bisa membuat pembacanya berpikir, memrasa, dan haru.
Paula LaRocque, wakil redaktur pelaksana dan pelatih penulisan, The Dallas Morning News, mengatakan kesempurnaan memang tidak mungkin tercapai. Tetapi cita-cita kita adalah jalan satu-satunya untuk mempertahankan standar setinggi mungkin dan ini harus berupa pelayanan bagi pembaca kita.

Jujur Terhadap Kebenaran   
Hal lain yang menyulitkan dalam menghasilkan akurasi adalah menyangkut harapan akan kebenaran. Kebanyakan orang di luar jurnalisme, dan malah banyak wartawan, percaya jurnalisme menghasilkan “Kebenaran”. Mereka lupa akan apa yang pernah disampaikan Walter Lippmann yaitu bahwa “berita dan kebenaran bukanlah hal yang sama” fakta yang disajikan wartawan terkadang menambah pada kebenaran. Namun, wartawan sering tidak mampu mengumpulan fakta dalam waktu yang diberikan atau disediakan untuk dapat menceritakan kebenaran tentang subjek mereka.
Contoh lain bahwa berita dan kebenaran itu tidak selalu sinonim adalah apa yang benar dalam berita hari ini, bisa berubah di hari kemudian. Narasumber atau pejabat pemerintah sering mengubah atau membantah pernyataannya sendiri yang sudah disiarkan media. Putusan pengadilan bisa dibanding dengan hasil yang berbeda. Jadi waktu bisa mengubah perspektif dari sudut mana peristiwa itu di pandang.
Ada lima pegangan, prinsip-prinsip intelektual dalam reportase, yaitu: (1) jangan menambahkan sesuatu yang tidak ada, (2) jangan menipu pembaca, (3) transparan sebisa mungkin tentang metode dan motif anda, (4) percaya pada keaslian reportase sendiri, dan (5) rendah hati.
Dengan beberapa hal yang harus dimiliki seorang wartawan profesional tersebut, maka dapat dismpulkan bahwa wartawan profesional adalah wartawan yang memegang teguh sembilan elemen jurnalisme Bill Kovach. Sembilan elemen jurnalisme tersebut adalah:
1.    Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran.
2.    Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara.
3.    Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
4.    Jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputannya.
5.    Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari
kekuasaan.
6.    Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi.
7.    Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan.
8.    Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional.
9.    Jurnalis diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.

Jika disimpulkan maka wartawan profesional adalah wartawan yang memahami tugasnya, dengan kata lain wartawan profeional adalah wartawan yang memiliki keterampilan untuk melakukan reportase dan mengolah karya-karya jurnalistik sesuai dengan nilai yang berlaku, memiliki independensi dari objek liputan dan kekuasaan, memiliki hati nurani serta memegang teguh kode etik jurnalistik yang diatur oleh organisasi profesi yang diikutinya.

2. 6 Kompetensi Wartawan
Seorang wartawan atau jurnalis membutuhkan kompetensi. Berdasarkan rumusan Dewan Pers, ada tiga kategori kompetensi yang harus dimiliki oleh jurnalis, antara lain:
1.    Kesadaran (awareness), yakni jurnalis menyadari setiap tindakan jurnalistiknya akan dipengaruhi oleh etika, karir, hukum, dan norma-norma. Artinya, jurnalis bukan orang bebas yang bisa berbuat seenaknya.
2.    Pengetahuan (knowledge). Jurnalis adalah seorang ilmuwan. Karena sebagai ilmuwan, jurnalis dituntut mempunyai pengetahuan yang layak, yakni pengetahuan khusus dan teknis. Mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan. Tidak kalah penting, jurnalis harus tahu bagaimana teori dan prinsip jurnalistik.
3.    Keterampilan (skill). Jurnalis harus mempunyai keterampilan. Meliputi keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, menganalisis arah pemberitaan, serta dapat mengoperasikan perangkat-perangkat teknis seperti kamera, komputer, internet, dan lain sebagainya.

Beberapa kompetensi lainnya yang perlu diperhatikan oleh jurnalis muda, calon jurnalis, atau yang ingin menjadi jurnalis.

1.    Passion (keinginan yang besar)
Akan lebih berkualitas kalau menjadi jurnalis muncul karena  passion, bukan karena pilihan terakhir setelah di mana-mana tidak cocok. Memang tidak semuanya lagsung muncul seketika, tapi wartawan yang lahir karena kegembiraan menjadi wartawan dan berusaha keras memampukan dirinya dengan maksimal, hasilnya akan berbeda. Bukan karena (sementara) lowongan yang tersedia hanya itu. 

2.    Tidak Alergi Teknologi
Dewasa ini, masih ada wartawan yang tidak menguasai teknologi yang terus berkembang. Misalnya wartawan tidak tahu cara mengirim berita atau foto lewat email. Sebenarnya wartawan sekarang jauh lebih enak, karena semua bisa dilakukan dalam satu  genggaman misalnya lewat BlackBerry. Para wartawan yang tidak terlatih untuk mencatat berita, merekam, dan meramunya mejadi satu berita yang utuh dan berkualitas, hanya bisa mengandalkan editor di kantor yang akan merapikan tulisannya saja.


3.    Punya Naluri Ingin Tahu
Wartawan harus mengasah kemampuan otak dan diri untuk punya naluri ingin tahu, mau belajar hal baru, dan mau mencari tahu hal-hal yang tidak dia sukai. Kurang etis kalau wartawan memberikan satu jawaban “penolakan” ketika ditugaskan untuk meliput hal yang (mungkin) tidak dia sukai. Kalimat seperti, “Saya tidak mau meliput atau wawancara, karena saya tidak suka!”. Jika wartawan sudah menutup diri seperti itu, berarti wartawan tersebut tidak profesional. Wartawan bisa mengeksplorasi banyak hal yang mungkin orang tidak pernah sangka.

4.    Berwawasan Luas  dan Mau Belajar
Seseorang yang ingin menjadi wartawan, harus memiliki wawasan yang luas dan mau terus belajar, karena profesi wartawan nantinya akan bertemu dengan beragam narasumber. Membaca, diskusi, dan investigasi (pribadi) tentang banyak hal, akan membantu wartawan menjadi pintar, cerdas, dan berwawasan.


5.         Independen
Seorang wartawan harus berpihak pada fakta dan data, bukan berpihak pada orang atau lembaga tertentu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan sang wartawan, misalnya pemilik modal tempat ia bekerja. Wartawan tidak boleh sekali-kali menjadi “penyambung lidah” narasumber semata, tanpa mempunyai data, fakta, dan validitas informasi yang benar. Independensi itu harus dimilik wartawan karena kredibilitas berita atau informasi yang diberitakan haruslah menjadi acuan agar wartawan tersebut dihargai dan dipercaya.

6.    Wartawan itu Bukan Pemeras
Wartawan bukan pengemis uang, bukan pemeras, dan bukan calo. Wartawan adalah suatu profesi mulia yang menyiarkan berita semata untuk kebutuhan publik, bukan karena adanya imbalan dari pihak tertentu.
2.7 Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
Adanya KEWI sudah menunjukkan profesionalitas wartawan. Pada KEWI pasal 2 (Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik) terdapat penafsiran mengenai cara-cara yang profesional itu, yaitu:
a.    menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b.    menghormati hak privasi;
c.    tidak menyuap;
d.    menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
e.    menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
f.    tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
g.    penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik.
Kode etik jurnalistik dirumuskan di kongres Persatuan Wartawan Indonesia pada tahun 1947 di Malang. Kemudian pada tahun 2006, disepakati bersama kode etik jurnalistik oleh banyak organisasi wartawan. Berangkat dari pemikiran bahwa wartawan harus memiliki pedoman (guidance) ketika menjalankan tugas sama seperti profesi lainnya, misalnya dokte,r atau guru kode etik wartawan mengatur kepantasan, kepatutan, atau keelokan.
Kode etik menjadi krusial karena kebebasan wartawan bisa kebablasan tanpa ada pengaturan yang jelas. Penggunaan kode etik akan meminimalisir potensi konflik dari suatu berita. Misalnya, ketika suatu pihak tidak senang atas suatu berita yang menyangkut dengan dirinya boleh menggunakan hak jawabnya di media tersebut. Atau, ketika terjadi kekeliruan dalam penulisan berita, esoknya sudah terpampang ralat, klarifikasi, dan sebagainya.
Pasal Kode Etik
1.    Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.    Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
3.    Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran serta tidak melakukan plagiat.
4.    Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.
5.    Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
6.    Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
7.    Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.
Penerapan Kode Etik
Kode etik jurnalistik wartawan Indonesia tidak bersifat memaksa. Penerapannya bergantung pada individu masing-masing. Jadi, penerapan kode etik oleh wartawan Indonesia ini sulit dimonitor. Institusi pers atau organisasi pers yang menaungi wartawan hendaknya memberi sanksi (indispliner) ketika menemukan wartawannya melanggar kode etik.
Sekali lagi, penerapan kode etik muncul dari rasa tanggung jawab wartawan itu sendiri. Jadi, mendorong penerapan kode etik jurnalistik wartawan Indonesia harus dimulai dari individu wartawan, media, kemudian ke lingkup masyarakat.

BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Dari pembahasan pada BAB II, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1.    Wartawan yang baik, hatinya jujur. Prinsip menghalalkan segala cara tak ada dalam kamus reportasenya. Dia berani independen, dia sadar akan kewajibannya mengumpulkan dan menerbitkan informasi untuk khalayak. Dia tak pernah mencuri-curi omongan dan bukan tipe orang yang gemar publisitas. Perkataan dan perbuatannya sama dan sejalan. Dia suka akurasi dan selalu mengecek fakta lebih dari sekali. Dia selalu berusaha melihat dua sisi dari sebuah kejadian.
2.    Wartawan yang handal punya ketajaman akan berita. Dia tahu kapan dan dimana mencari berita, siapa yang akan diwawancarai, pertanyaan seperti apa yang mesti ditanyakan, bagaimana mengajukannya, dan bagaimana memverifikasi hasilnya. Dia tahu bagaimana mengerahkan indra pengamatannya; bisa melihat dan mendengar apa-apa yang didengar orang-orang di jalanan. Dia tahu, dalam sekali pandang, apakah orang di hadapannya bercerita apa adanya atau sebaliknya, menyembunyikan sesuatu. Dia tahu cara menelusuri dokumen, membongkar file dan melacak setiap berkas. Dia tahu apa dan bagaimana melakukan investigasi, di bidang apapun. Dia telah menyerap keterampilan jurnalistik tertinggi: kemampuan belajar bagaimana untuk belajar. Dia seorang generalis dengan satu spesialisi: rasa ingin tahu.
3.    Wartawan yang baik, bekerja lebih dari sekadar melaporkan berita. Dia bisa menggambarkan, menjelaskan, dan mengintrepertasikan kejadian-kejadian kompleks dan persoalan pelik menyangkut orang per orang dan masyarakat secara keseluruhan. Dia, misalnya, bisa memahami persoalan hukum superpelik, mengerti detil teknis di bidang sains dan pertahanan militer, dan bisa menggunakan pandangan para ahli dan pakar untuk menjawab persoalan ekonomi dan politik, serta  melakukan semua itu dengan cepat.
4.    Wartawan adalah sebuah profesi bagi pemburu berita, atau biasa pula disebut sebagai juru warta, pembawa berita, newsgatter, pressman, komunikattor massa, nyamuk pers, kuli tinta, dan pembela kepentingan rakyat. Dari segi intilah wartawan merupakan orang yang pekerjaannya mencari berita. Selanjutnya, berita-berita tersebut diolah dan disusun untuk dikirim ke meja redaksi yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
5.    Tugas wartawan itu sendiri sebagai peliput, penyusun, dan penyebar informasi. Hal pertama yang dilakukan wartawan adalah meliput setiap peristiwa yang pada akhirnya dijadikan bahan berita dan disampaikan kepada publik untuk dijadikan informasi. Secara garis besar wartawan dibagi menjadi 4 macam, yaitu: Wartawan profesional, Wartawan freelance, Koresponden, dan Wartawan kantor berita.
6.    Ada 18 sikap dan watak wartawan yang merupakan pedoman profesi, sekaligus nilai-nilai yang harus dipertahankan dalam bekerja wartawan, yaitu: sebagai panggilan hidup, sikap kritis dan selalu ingin tahu, kecepatan dan ketepatan, etos kerja yang tuntas, lobbying, sikap kelembagaan, sikap saling koreksi, sikap mencintai pekerjaan, sikap bersaing secara sehat, bekerja terencana, wartawan sebagai pengamat, sikap tak apriori, sikap sangsi yang santun, sebagai inspektur, kritik untuk perbaikan, hati-hati terhadap unsur "SARA", Check and recheck,  dan memberi yang terbaik.
7.    Menurut John Tabbel dalam bukunya Opportunities in JournalismCarees, wartawan masa kini–dalam lingkup pekerjaannya sebagai wartawan–harus mampu menjadi seorang perencana (planner), periset (researcher), pelapor (reporter), penulis (writer), penyunting (editor), dan administrator. Untuk melaksanakan semuanya ini, wartawan harus membekali diri dengan: naluri berita-nose for news, observasi, keingintahuan, mengenal berita, menangani berita, ungkapan yang jelas, keperibadian yang jelas, pendekatan yang sesuai, kecepatan, kecerdikan, teguh pada janji, daya ingat yang tajam, buku catatan, berkas catatan/referensi,  kamus, surat kabar/majalah/internet/tv/radio,  dan perbaikan demi kemajuan
8.    Adapun menurut penulis blog romelteamagazines.wordpress.com, wartawan profesional memiliki beberapa karakteristik, yakni: Pertama, menguasai keterampilan jurnalistik. Kedua, menguasai bidang liputan (beat). Ketiga, memahami serta mematuhi etika jurnalistik.
9.    Selain itu, ada pula beberapa karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang wartawan, yaitu: (1) Menempatkan pekerjaan sebagai tujuan mulia; (2) tidak arogan; (3) akurat; (4) bekerja kecepatan tinggi; (5) jujur terhadap kebenaran.
10.    Ada lima pegangan, prinsip-prinsip intelektual dalam reportase, yaitu: (1) jangan menambahkan sesuatu yang tidak ada, (2) jangan menipu pembaca, (3) transparan sebisa mungkin tentang metode dan motif anda, (4) percaya pada keaslian reportase sendiri, dan (5) rendah hati.
11.    Ada sembilan elemen jurnalisme tersebut adalah: kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran, loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara, esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputannya, jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan, jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling kritik dan menemukan kompromi, jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional, dan jurnalis diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.
12.    Seorang wartawan atau jurnalis membutuhkan kompetensi. Berdasarkan rumusan Dewan Pers, ada tiga kategori kompetensi yang harus dimiliki oleh jurnalis, antara lain: kesadaran (awareness), pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (skill).
13.    Beberapa kompetensi lainnya yang perlu diperhatikan oleh jurnalis muda, calon jurnalis, atau yang ingin menjadi jurnalis, yaitu: passion (keinginan yang besar), tidak alergi teknologi, punya naluri ingin tahu, berwawasan luas  dan mau belajar, independen, wartawan itu Bukan Pemeras
14.    Adanya KEWI sudah menunjukkan profesionalitas wartawan. Pada KEWI pasal 2 (Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik) terdapat penafsiran mengenai cara-cara yang profesional itu, yaitu: menunjukkan identitas diri kepada narasumber; menghormati hak privasi; tidak menyuap; menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang; menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
15.    Kode etik jurnalistik dirumuskan di kongres Persatuan Wartawan Indonesia pada tahun 1947 di Malang. Kemudian pada tahun 2006, disepakati bersama kode etik jurnalistik oleh banyak organisasi wartawan. Berangkat dari pemikiran bahwa wartawan harus memiliki pedoman (guidance) ketika menjalankan tugas sama seperti profesi lainnya, misalnya dokter atau guru kode etik wartawan mengatur kepantasan, kepatutan, atau keelokan.
16.    Kode etik wartawan indonesia, yaitu: (1) Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar; (2) Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi; (3) Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran serta tidak melakukan plagiat; (4) Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila; (5) Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi; (6) Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan; (7)Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.

3.2    Saran
Adapun saran yang dapat kami kemukakan dari pembahasan makalah  ini adalah agar kedepannya para mahasiswa dapat lebih memperkaya pengetahuannya tentang dunia  jurnalis/wartawan, sehingga kedepannya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya yang ingin menjadi seorang wartawan. Kemudian makalah yang kami buat ini, bisa dijadikan sebagai bahan pembanding dengan referensi lainnya dalam membahas materi yang sama.


DAFTAR   PUSTAKA

Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Kompas: Jakarta.
http://lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=578:w
artawan-harus-memiliki-standar-kompetensi-&catid=31:info kompetensi&Itemid=42
http://thesocratesmedia.com/anda-wartawan-yang-baik/
http://mediacare.multiply.com/journal/item/6/18_Sikap_Wartawan
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/08/09/kompetensi-dan-tanggung-
jawab-wartawan/
http://www.anneahira.com/kode-etik-jurnalistik-wartawan-indonesia.htm
http://www.anneahira.com/pengertian-wartawan.htm
http://romeltea.wordpress.com/2007/10/02/kode-etik-jurnalistik-etika-profesional
 wartawan/
http://pedomanrakyat.blogspot.com/2008/05/pengertian-dan-sejarah-
jurnalistik.html
http://bataknews.wordpress.com/2007/05/11/tips-menjadi-wartawan-yang-baik-
 dan-benar/
http://catatancalonwartawan.wordpress.com/2009/03/18/tentang-wartawan-
profesional/
http://lpds.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=578:wartaw
-harus-memiliki-standar-kompetensi-&catid=31:info kompetensi&Itemid=42
http://giftalvina.blogspot.com/2009/03/ciri-ciri-wartawan-profesional
serta.html


1 komentar:

  1. salam hangat. trimakasih buat mba yang baik hati memposting materi ini. mohon maaf sebelumnya, saya mohon ijin untuk mencopi postingan ini untuk bahan belajar sebelum uas.
    trimakasih.. :)
    salah hangat di musim hujan... heehhee

    BalasHapus